ASTRONOMI
1. Pemisahan Langit dan
Bumi
Satu ayat lagi
tentang penciptaan langit adalah sebagaimana berikut :
“Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS.
Al Anbiya : 30)
Keterangan yang
diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa
kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan
alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai
hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang
dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar
15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil
dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big
Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan
mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.
Sebelum Big Bang, tak
ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, dimana materi, energi,
bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik,
terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli
fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu. Sensor
sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun
1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini
merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah
bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan.
2. Mengembangnya Alam
Semesta
Dalam Al Qur'an, yang
diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi masih terbelakang,
mengembangnya alam semesta digambarkan sebagaimana berikut ini:
"Dan langit itu
Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar
meluaskannya." (Al
Qur'an, 51:47)
Kata
"langit", sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di banyak
tempat dalam Al Qur'an dengan makna luar angkasa dan alam semesta. Di sini
sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini. Dengan kata lain, dalam
Al Qur'an dikatakan bahwa alam semesta "mengalami perluasan atau
mengembang". Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan masa
kini.
Hingga awal abad
ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya diyakini di dunia ilmu pengetahuan
adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa
permulaan. Namun, penelitian, pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan
teknologi modern, mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki
permulaan, dan ia terus-menerus "mengembang".
Pada awal abad ke-20,
fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George
Lemaitre, secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta
senantiasa bergerak dan mengembang. Fakta ini dibuktikan juga dengan
menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan
teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa
bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam
semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjauhi satu sama lain,
berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus "mengembang".
Pengamatan yang
dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus
mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur'an pada saat tak seorang pun
mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur'an adalah firman Allah, Sang Pencipta,
dan Pengatur keseluruhan alam semesta.
3. Bentuk Bulat Planet
Bumi
“Dia menciptakan
langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan
menutupkan siang atas malam…” (QS. Az Zumar:5)
Dalam Al Qur’an,
kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat
penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai “menutupkan” dalam ayat di atas
adalah “takwir”. Dalam kamus bahasa Arab, misalnya, kata ini digunakan untuk
menggambarkan pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu di atas yang lain
secara melingkar, sebagaimana surban dipakaikan pada kepala.
Keterangan yang
disebut dalam ayat tersebut tentang siang dan malam yang saling menutup satu
sama lain berisi keterangan yang tepat mengenai bentuk bumi. Pernyataan ini
hanya benar jika bumi berbentuk bulat. Ini berarti bahwa dalam Al Qur’an, yang
telah diturunkan di abad ke-7, telah diisyaratkan tentang bentuk planet bumi
yang bulat.
Namun perlu diingat
bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi
diyakini berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah
didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur’an berisi informasi
yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al Qur’an
adalah firman Allah, maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat
digunakan dalam ayat-ayatnya ketika menjelaskan jagat raya.
4. Garis Edar Tata Surya
Tatkala merujuk
kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur’an, ditegaskan bahwa masing-masing
bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
“Dan Dialah yang
telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari
keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.”(QS. Al Anbiya:33)
Disebutkan pula dalam
ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar
tertentu: “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yasin:38)
Fakta-fakta yang
disampaikan dalam Al Qur’an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis
di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak
dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang
Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari
bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama
matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga
berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada
dalam suatu gerakan serupa yang terencana.
Keseluruhan alam
semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan
dalam Al Qur’an sebagai berikut: “Demi langit yang mempunyai
jalan-jalan.” (QS. Az Zariyat:7)
Terdapat sekitar 200
milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200
bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian
besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak
dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan
tahun, masing-masing seolah “berenang” sepanjang garis edarnya dalam keserasian
dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah
komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya. Semua
benda langit termasuk planet, satelit yang mengiringi planet, bintang, dan
bahkan galaksi, memiliki orbit atau garis edar mereka masing-masing. Semua
orbit ini telah ditetapkan berdasarkan perhitungan yang sangat teliti dengan
cermat. Yang membangun dan memelihara tatanan sempurna ini adalah Allah,
Pencipta seluruh semesta alam.
5. Kadar
Hujan
Di dalam ayat
kesebelas Surat Az-Zukhruf, hujan dinyatakan sebagai air yang diturunkan dalam
“ukuran tertentu”. Sebagaimana ayat di bawah ini:
“Dan yang menurunkan
air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengan air
itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam
kubur).” (QS.
Az-Zukhruf, (43):11)
“Kadar” yang
disebutkan dalam ayat ini merupakan salah satu karakteristik hujan. Secara
umum, jumlah hujan yang turun ke bumi selalu sama. Diperkirakan sebanyak 16 ton
air di bumi menguap setiap detiknya. Jumlah ini sama dengan jumlah air yang
turun ke bumi setiap detiknya. Hal ini menunjukkan bahwa hujan secara
terus-menerus bersirkulasi dalam sebuah siklus seimbang menurut “ukuran”
tertentu.
Pengukuran lain yang
berkaitan dengan hujan adalah mengenai kecepatan turunnya hujan. Ketinggian
minimum awan adalah sekitar 12.000 meter. Ketika turun dari ketinggian ini,
sebuah benda yang yang memiliki berat dan ukuran sebesar tetesan hujan akan
terus melaju dan jatuh menimpa tanah dengan kecepatan 558km/jam. Tentunya,
objek apapun yang jatuh dengan kecepatan tersebut akan mengakibatkan kerusakan.
Dan apabila hujan turun dengan cara demikian, maka seluruh lahan tanaman akan
hancur, permukiman, perumahan, kendaraan akan mengalami kerusakan, dan
orang-orang pun tidak dapat pergi keluar tanpa mengenakan alat perlindungan
ekstra.
Terlebih lagi,
perhitungan ini dibuat untuk ketinggian 12.000 meter, faktanya terdapat awan
yang memiliki ketinggian hanya sekitar 10.000 meter. Sebuah tetesan hujan yang
jatuh pada ketinggian ini tentu saja akan jatuh pada kecepatan yang mampu
merusak apa saja. Namun tidak demikian terjadinya, dari ketinggian berapapun
hujan itu turun, kecepatan rata-ratanya hanya sekitar 8-10 km/jam ketika
mencapai tanah. Hal ini disebabkan karena bentuk tetesan hujan yang sangat
istimewa.
Keistimewaan bentuk
tetesan hujan ini meningkatkan efek gesekan atmosfer dan mempertahankan
kelajuan tetesan-tetesan hujan krtika mencapai “batas” kecepatan tertentu.
(Saat ini, parasut dirancang dengan menggunakan teknik ini).
Tak sebatas itu saja
“pengukuran” tentang hujan. Contoh lain misalnya, pada lapisan atmosferis
tempat terjadinya hujan, temperatur bisa saja turun hingga 400oC di bawah nol.
Meskipun demikian, tetesan-tetesan hujan tidak berubah menjadi partikel es.
(Hal ini tentunya merupakan ancaman mematikan bagi semua makhluk hidup di muka
bumi.)
Alasan tidak
membekunya tetesan-tetesan hujan tersebut adalah karena air yang terkandung
dalam atmosfer merupakan air murni. Sebagaimana kita ketahui, bahwa air murni
hampir tidak membeku pada temperatur yang sangat rendah sekalipun.
6. Angin yang
Mengawinkan
Dalam sebuah ayat Al
Qur’an disebutkan sifat angin yang mengawinkan dan terbentuknya hujan
karenanya.
“Dan Kami telah
meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit lalu Kami
beri minum kamu dengan air itu dan sekali kali bukanlah kamu yang
menyimpannya.” (Al Qur’an, 15:22)
Dalam ayat ini
ditekankan bahwa fase pertama dalam pembentukan hujan adalah angin. Hingga awal
abad ke 20, satu-satunya hubungan antara angin dan hujan yang diketahui
hanyalah bahwa angin yang menggerakkan awan. Namun penemuan ilmu meteorologi
modern telah menunjukkan peran “mengawinkan” dari angin dalam pembentukan
hujan.
Fungsi mengawinkan
dari angin ini terjadi sebagaimana berikut:
Di atas permukaan
laut dan samudera, gelembung udara yang tak terhitung jumlahnya terbentuk
akibat pembentukan buih. Pada saat gelembung-gelembung ini pecah, ribuan
partikel kecil dengan diameter seperseratus milimeter, terlempar ke udara.
Partikel-partikel ini, yang dikenal sebagai aerosol, bercampur dengan debu
daratan yang terbawa oleh angin dan selanjutnya terbawa ke lapisan atas
atmosfer. . Partikel-partikel ini dibawa naik lebih tinggi ke atas oleh angin
dan bertemu dengan uap air di sana. Uap air mengembun di sekitar partikel-partikel
ini dan berubah menjadi butiran-butiran air. Butiran-butiran air ini mula-mula
berkumpul dan membentuk awan dan kemudian jatuh ke Bumi dalam bentuk hujan.
Sebagaimana terlihat,
angin “mengawinkan” uap air yang melayang di udara dengan partikel-partikel
yang di bawanya dari laut dan akhirnya membantu pembentukan awan
hujan. Apabila angin tidak memiliki sifat ini, butiran-butiran air di
atmosfer bagian atas tidak akan pernah terbentuk dan hujanpun tidak akan pernah
terjadi. Hal terpenting di sini adalah bahwa peran utama dari angin dalam
pembentukan hujan telah dinyatakan berabad-abad yang lalu dalam sebuah ayat Al
Qur’an, pada saat orang hanya mengetahui sedikit saja tentang fenomena alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar